Tampi asih adalah kata lain dari Terima Kasih, dimana penggunanya adalah sebagian besar suku Sasak, suku asli Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat[NTB].
Judul diatas bermakna ganda. Pertama, memang lah sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada seluruh guru di penjuru Indonesia, yang hari ini berulang-tahun. Kedua, dan yang paling utama, rasa terima kasih aku kepada bapak tercinta dirumah. Di salah satu pojok kota Selong, Lombok Timur, NTB.
Bapak baru saja pensiun diawal 2008 lalu, diusianya yang genap 60 tahun. Pengabdian maksimalnya untuk SMPN 3 Selong, dus untuk 'gelar'nya sebagai GURU. Sangat-amat maksimal bagi aku, mengingat di tahun 1991 Bapak sempat kecelakaan lalulintas dan memaksanya opname di rumah sakit selama hampir 2 bulan. Dan beberapa bulan masa rawat jalan, yang seharusnya membuatnya pensiun dini. Sesuatu yang ditolak Bapak, mengingat anak-anaknya [aku dan kakak sulung masih kelas 2 SMP waktu itu] masih butuh seorang bapak yang bekerja. Seorang Bapak yang mempunyai penghasilan dan memastikan aku serta 5 sudaraku yang lain bisa menamatkan, minimal, SMA. Alhamdulillah, Bapak berhasil. Kami berenam tamat SMA dan 4 dari kami sempat mengenyam bangku kuliah, serta 1 adik aku berhasil menjadi Sarjana Elektro dan si bungsu yang masih sedang menyelesaikan S1-nya di STKIP Pancor-NTB.
Pengabdian amat-sangat maksimal, karena dengan gelar Guru SMP hampir puluhan tahun, Bapak sukses memberikan pendidikan terbaik bagi 6 orang anaknya. Bukan sekali dua kali Bapak ditawarkan untuk pindah agar bisa men'jabat' sebagai Kepala Sekolah. Tapi, konsekuensi pindah rumah,--kadang sampai pindah kabupaten, tidak terlalu disetujui Mamak [Ibu]. Jadilah, hampir 30 tahun-an Bapak mengabdi di SMPN 3 Selong. Dan hampir 20 tahun terakhir [sejak kecelakaan] hanya ber'tanggung-jawab' pada pelajaran Ekonomi.
Tentunya, kondisi tersebut bukan tanpa alasan. Aku bisa mengerti, bahwa sebenarnya manajemen sekolah sudah sangat perhatian dengan tidak 'memaksakan' pensiun dini,--menimbang kondisi psikis Bapak, akibat dari kecelakaan. Meski dalam setiap proses belajar-mengajar Bapak samasekali sudah tidak maksimal. Suatu kebijakan yang sebenarnya tidak ekonomis, mengingat seharusnya setiap pengajar harus dalam kondisi maksimal. Menguasai materi ajarnya, mempunyai kecakapan mengajar yang baik serta disiplin yang tinggi dalam proses belajar-mengajar.
Seingatku, Bapak hanya masih punya poin ke3. Dengan jatah jam pelajaran sekitar 45 jam seminggu, Bapak sangat jarang absen. Senin-Sabtu, upacara bendera di Senin pagi, dan kadang upacara penurunan bendera di Sabtu sore, Bapak selalu berusaha hadir. Sesekali kadang masih menjadi inspektur upacaranya. Tanpa bermaksud membenarkan kondisi Bapak [yang minus di 2 poin pertama], kondisi semacam inilah yang masih juga menyertai dunia pendidikan kita. Masih seringnya kita temukan ketidak-profesionalan dibanyak manajemen pendidikan kita. Guru-guru yang terpaksa mengajar materi pelajaran yang sama selama puluhan tahun, juga guru-guru dengan latar belakang pendidikan yang jauh berbeda dengan materi yang diajarkan. S1 Bahasa Inggris menjadi Guru Komputer, misalnya.
Kekurangan Bapak akan semakin bertambah jika mengikuti standar berikut :
'Sertifikasi pendidik atau guru dalam jabatan akan dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan:
- kualifikasi akademik;
- pendidikan dan pelatihan;
- pengalaman mengajar;
- perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
- penilaian dari atasan dan pengawas;
- prestasi akademik;
- karya pengembangan profesi;
- keikutsertaan dalam forum ilmiah;
- pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
- penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. '
Rasanya jadi berat kalau sudah mau menulis tentang ini. Masih begitu banyak catatan disana/sini. Baik di tingkat manajemennya [Kanwil2 Pendidikan], maupun di lapangan [para guru itu sendiri]. Tentu saja, dibalik catatan-catatan kekurangan yang ada, amat sangat banyak prestasi lebih yang telah diraih oleh dunia pendidikan kita. Keberhasilan menjuarai Olimpiade ini/itu, menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang memberikan fasilitas berlebih untuk anak-didiknya. Sesuatu yang bisa jadi gambaran, bahwa kita masih bisa berharap lebih kepada para generasi penerus.
Bahwa, ditengah coreng/morengnya wajah pendidikan, masih banyak bagian cemerlang lainnya, yang membuat dunia pendidikan indonesia tetap eksis. Membantu lahirnya generasi penerus yang bisa membanggakan Indonesia, disegala bidang.
Bapak, Tampi Asih lagi. Hanya karena komitmen Bapaklah, aku bisa dan mau menulis tentang ini. Hari ini, untuk Guru-Guru Indonesia.
semoga guru2 di indonesia bukan cuma bisa ngajar tok,tp juga bisa menjadi bener2 guru [digugu lan dituru]...
ReplyDeleteSetelah bertemu di Wargahijau saya menelusuri dan menemukan Blog ini.
ReplyDeleteSaya hanya ingin menyapa saja dan belum dapat memberi komentar apapun terhadap tulisan-tulisan anda.
Salam buat Zalwa yang "very cute"...
Mang Iyus
@Mardee. Stuju, pastinya...
ReplyDelete@Mang Iyus: Tampi asih Mang. Tiang antih komentar pelungguh [Bhs Sasak, artinya: Terima kasih Mang..Saya tunggu komentar Mang Iyus].
Pelungguh= Anda
Lumayan bu mulai dapat kursus dasar bahasa Sasak... Tampi asih bu.
ReplyDeleteBapak Muslifah adalah seorang bapak, sekaligus bapak guru yang luar biasa! Two thumbs up! Saya menulis begini bukan bermaksud asal memuji. Tetapi ada beberapa alasan kuat. Pertama, saya sendiri mantan guru [tamatan Sadhar, Yogyakarta]. Kedua, saya tidak mempunyai daya tahan [ausdauer] seperti bapaknya Muslifah. Saya hanya bertahan selama 5 tahun saja sebagai guru SMA [itupun sekedar untuk melunasi masa dinas belaka] dan memilih jalur di luar dunia persekolahan. Maka saya sangat respek kepada mereka yang mampu bertahan terus dan setia pada profesi guru sampai pensiun.
ReplyDeleteMemang beberapa rekan guru mampu bertahan sampai pensiun. Bahkan terus memberi privat les setelah pensiun. Bahkan ada isteri sahabat saya yang seumur hidup mampu bertahan sebagai spesialis guru kelas dua sekolah dasar. Luar biasa! Namun Tuhan itu memang Mahaadil dan Mahapenyelenggara karena anak-anaknya mampu menjadi sarjana semua.
Jadi ada sesuatu pada basic thinking saya dahulu yang keliru. Saya pikir, kalau saya jadi guru terus mana mungkin saya mampu menyekolahkan anak-anak saya sampai selesai. Maka dari itu saya memutuskan untuk pindah profesi setelah mengajar selama 5 tahun saja. Namun kini saya menyadari bahwa panggilan hidup [life vocation] saya bukan harus berarti mengajar melainkan menjadi pendidik. Dan menjadi pendidik bukan berarti harus sekolah, atau berhubungan dengan lembaga persekolahan. Saya mencoba “melawan” takdir [panggilan hidup] saya dan berusaha menjadi penguasaha. Tetapi yang terjadi ialah hampir selalu saya menabrak tembok. Kontrak yang sudah di tanganpun bisa lepas tanpa alasan yang masuk akal. Tuhan tidak mengizinkan saya menempuh jalur hidup diluar rancanganNya untuk hidup saya. Subhanallah, Maha Besarlah Allah !