Zeti Arina |
Terpilih aklamasi menjadi Ketua
IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) Surabaya, dus CEO Artha Raya
Consultant, sosok Zeti Arina merasa berkewajiban untuk konsisten sharing
tentang dunia perpajakan bagi siapa saja.
Sejalan dengan program pertama
IKPI di kepengurusan yang dipimpinnya sekarang, diantaranya menawarkan kegiatan
bersama dalam rangka edukasi masyarakat serta memberikan masukan tentang yang
terjadi di dunia usaha, Zeti Arina berkenan sharing cara penghitungan pajak
sederhana bagi pengusaha kuliner.
Saat ini di banyak kota besar,
geliat bisnis kuliner semakin menjanjikan. Satu sisi, ketika bisnis kuliner
membesar, konsekuensi membayar pajak pun muncul. Peraturan Pemerintah no 46
(PP46) tahun 2013 tentang ‘Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu’
adalah payung hukum bagi pebisnis kuliner. Misal, dengan omzet yang kurang dari
4,8 milyar per tahun, Pajak Penghasilan yang dibayarkan cukup sebesar 1% dari
total omzet yang dibayar setiap bulan. Disini, para pedagang kaki lima, baik
yang berjualan di pinggir trotoar dan di fasilitas-fasilitas umum masih tidak
termasuk. Pebisnis kuliner yang memiliki lokasi usaha menetaplah yang memiliki
kewajiban ini.
Lebih detail, Zeti Arina berbagi
cara menghitung pajaknya. Misal, Bapak Bramantyo (kawin, anak3) pebisnis
kuliner sate kambing dengan hasil penjualan 100 juta rupiah per bulan. Maka, setiap
bulannya harus menyetor pajak 1% x 100 juta, dimana nilai pajaknya menjadi 1
juta rupiah. Dus, dalam setahun, pajak yang harus dibayarkan menjadi 12 juta
rupiah. Kewajiban tambahan lainnya, 10% pajak restoran, dimana sesuai ketentuan
yang diatur dalam Jenis Pajak Daerah, pajak ini nantinya disetorkan ke
pemerintah daerah sesuai lokasi bisnisnya. Sementara, di jenis Pajak Pusat
(PPh), baru akan dihitung dari semua omzet usaha dikurangi biaya-biaya yang
hasilnya menjadi laba bersih. Dus, juga setelah dikurangi PTKP (Penghasilan
Tidak Kena Pajak) jika bisnis kulinernya perorangan. Lebih jauh lagi, masih ada
kewajiban membayarkan pajak progresif yang mulai dari angka 5% sampai 30% .
Dengan catatan nilai omzet usaha sudah lebih dari 4,8 milyar rupiah. Berapa pun
hasil dari penghitungan pajak progressif, akan mudah jika usaha dilengkapi
pembukuan yang rapi. Bahkan justru diwajibkan. Jadi, proses pembayaran pajak
setiap bulannya menjadi mudah karena dasar penghitungannya dari data-data
detail pembukuan yang rapi.
Jadi, angka-angka pajak yang
menjadi konsekuensi dari setiap omzet penghasilan ketika menekuni bisnis
kuliner tidak lagi menjadi ancaman. Justru menjadi tolok ukur tersendiri
kesuksesan menjadi pebisnis. Memberikan keuntungan tidak saja ke pribadi dan
keluarganya, namun juga untuk masyarakat umum melalui pajak-pajak yang
dibayarkan.
Post a Comment
Post a Comment