“Berapa
senja yang telah kau buru?”
“Kau
sungguh ingin menghitungnya? Untuk apa?”
Meski
si penjawab pertanyaanku tak jenakkan pandangnya dari layar LCD 3 inchi di dua
tangannya, aku masih kedikkan bahu.
“Entah.
Mungkin untuk membuatmu berhenti memburunya?”
“Berhenti
berburu? Mengapa pula aku harus berhenti?” Kali ini, dua pasang mata dengan manik
coklat terang menatapku penuh-penuh. Bias oranye jadikan manik matanya bak
pelangi terpotong.
“Kau
tak menjawab. Jadi, kuanggap sepakati yakinku. Tak perlu berhenti memburu
senja.”
--
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
--
Sepasang
mata indah itu kembali menelisik apa yang tertangkap kameranya. Memastikan
angle, komposisi serta kompleksitas warna yang berhasil terekam. Ia tak tahu,
tak pernah tahu, aku tak pernah bisa menjawab setiap pertanyaan baliknya.
Terutama ketika sepasang matanya memerangkapku. Aku masih selalu gagal menahan
diri untuk tak segera terhanyut. Binar dan sejuta satu bias yang menahan setiap
kata terucap dari mulutku. Memaku setiap ototku. Aku masih gagal berhenti
dengan pesona itu.
Di
sisa senja yang tentu saja tetap tak terhitung, aku menatapi bias warna yang
semakin menggelap. Jika ia tak akan berhenti memburu senja, aku pun tak perlu
berhenti mencari tahu akhir dari setiap keterpenjaraanku. Kukira.
--
“Tambora?
Sejauh itu Karin?”
“Kau
hanya harus bilang iya atau tidak. Aku sudah kompilasi banyak kisah perjalanan
yang terserak di internet. Pergi sendiri pun tak masalah..”
“Ya!”
“Flight
kita besok subuh. Sebaiknya nanti malam menginap dirumahku.”
“Ya..”
Satu
mug caffe Amerikano di balik laptop Karin telah lama tandas. Seperti
kegilaannya berburu senja, hanya satu kali aku menawarkan diri mencecap kopi
favoritnya yang selalu hitam dan tak bergula. Pilihan minumannya selain air
putih dan jus. Sesap pertama dan terakhirku. Aku gagal pahami keyakinan Karin
tentang sensasi manis dari kepekatan sempurna kopi hitam tak bergula. Lidahku
hanya pastikan satu kata, pahit.
Dari
tiga hal terbesar yang mengikatku padanya, aku tak paham benar, bagian mana
yang harus sungguh kucari ujungnya. Penjara sepasang manik mata coklat terang,
hitungan terakhir senja atau sesap keduaku dari mug kopi hitamnya.
“Tak
perlu pusing packing. Satu ransel berisi semua kelengkapanmu sudah aku siapkan.
Bawa toiletries saja. Aku tak yakin, sunblock milikku sesuai dengan koleksimu..”
Gadis
praktis, introvert namun perfeksionis setengah mati. Kombinasi yang menjadikan
setiap tripnya beroleh hasil sempurna. Puluhan koleksi foto-foto senja dari
penjuru Indonesia. Yang terbaik dipajangnya di satu web khusus pemburu foto,
yang tak lama setelahnya selalu ada saja yang tertarik membelinya. Sisa dari
sekian ratus jepretan, diolahnya menjadi seribu satu kisah perjalanan berbalut
fiksi. Pun sesekali disertakannya di ajang lomba. Kesenangan yang menjadikan
Karin sudah hidup mandiri sejak lama. Memastikannya hidup terpisah dari orang
tuanya yang memang sibuk luar biasa. Sepasang diplomat yang terikat pernikahan
hanya demi Karin masih miliki orang tua utuh. Meski keseharian mereka terhubung
hanya melalui internet. Sekali dua makan bersama. Kadang saat natal. Sekali
waktu saat tahun baru. Kebersamaan yang semakin rela diabaikan Karin, karena ia
lebih memilih memburu senja. Dengan atau tanpa aku.
“Aku
sudah beritahu Sandra. Ia yang sepenuhnya bertanggung-jawab dengan semua
shopmu. Kita ke Tambora sepekan penuh. Design kaos terbarumu juga sudah aku
bawa. Sebagian akan aku berikan ke para guide kita nanti. Hitung saja sebagai
sampel dan model berjalan..”
Karamel
macchiato milikku sudah tandas. Hari masih terang, tapi rasanya tubuhku sudah
bergelung di bawah selimut. Trip gunung terakhirku bersama Karin memang sudah
tiga bulan berselang. Jadi, tubuh lelahku sudah siap kembali menegang. Abaikan
hitungan di trek mendaki, pun beban di punggung. Tak ada yang harus kulakukan
lagi di sisa hari. Sandra manager on duty terbaikku selama lima tahun terakhir
geluti bisnis clothing. Sandra juga sudah cukup paham status Karin bagiku.
Perintah Karin, perintahku. Toko-toko akan berjalan seperti biasa.
--
Aku
Rangga. Pemuda kebanyakan. Beruntung memiliki keluarga berdarah bisnis yang
kental, namun mengharuskan setiap aku dan saudaraku selesaikan pendidikan
standar. Raih master bisnis tepat di usia seperempat abad, aku diberikan
pinjaman modal lebih dari cukup untuk membuka bisnis clothing. Hobiku
menggambar memastikan aku tak pernah kehabisan ide dengan design berbagai jenis
baju, pun corak ragam di kaos-kaos. Masing-masing aku buat terbatas, karena
kekuatan bisnisku justru di kekhususan design dan gambarnya. Selang setahun,
aku memutuskan tinggal sendiri di satu kondomonium eksklusif di utara Jakarta. Seringkali
aku tak pedulikan waktu saat menggambar. Kebiasaan yang akan menganggu
kehidupan rutin di rumah lama, terutama mama. Satu-satunya syarat yang memaksa
mama membiarku tinggal terpisah, kunci duplikat membuatnya bebas mengunjungiku
kapan pun.
Satu
sore yang biasa seperti ribuan sore sebelumnya. Aku menikmati satu kopi instan
di balkon. Senja di sisi utara Jakarta terasa biasa. Aku pemuja keindahan
imajinasi diotakku sendiri. Bias warna hari kunikmati sebatas rujukan bagi
warna-warna yang terpilih untuk gambar terbaruku. Atau padu-padan warna design
kemeja. Selagi asyik pandangi gradasi oranye, violet menuju abu gelap, satu
suara mengusikku.
Cekrek.
Cekrek. Berulang kali. Menelisik asal suara, ternyata berasal dari balkon
samping. Seorang gadis berambut cepak tampak sibuk dibalik kameranya yang
terpasangi tripod. Aku meyakini ia gadis, karena flannel merah terang yang
dikenakannya dengan pants senada tonjolkan kulit putihnya yang tampak halus. Kaki
jenjangnya tertutup pembatas balkon. Tapi aku yakin, sepasang kakinya pasti
terbungkus sneakers yang juga berwarna merah. Kecuali kepastian tentang
sneakersnya, cukup lama aku bisa puaskan pandangi sosoknya. Tentu saja karena
tak sedikit pun wajahnya menjauh dari belakang kamera.
Kini
langit hanya sisakan sedikit putih samar. Berpikir sosok itu akan segera
beranjak dari belakang kameranya, aku bersiap mengalihkan pandang. Namun,
tiba-tiba sosok itu justru bergerak ke samping. Kali ini, suara tubuh yang
beradu dengan lantai yang terdengar. Terkejut, segera aku letakkan mug kopi di
bawah dan beranjak mendekati pembatas balkon. Jantungku rasanya berkeping. Jika
saja tubuh itu berayun ke depan, set kamera dan tripod tak kan sanggup
menahannya dan tak melewati pembatas balkon terluar.
Hati-hati
aku menaiki pembatas. Rimbunan semak berbunga tak terlalu menutupi pandangan ke
sebelah. Tubuh gadis itu terkulai. Gerakkan badanku sedikit lagi, aku bisa
pandangi sebagian ruang kamar tidur. Tak tampak siapa pun yang keluar. Di
tengah panik, aku bergegas masuk dan kembali dengan satu tangga besi. Meski tak
yakin apakah harus menyeberang, aku hanya punya pilihan menunggui seseorang
keluar dan temukan tubuh gadis itu. Mungkin hanya pingsan. Semoga memang hanya
pingsan. Jeda sekian menit, tetap tak ada satu pun selain aku dan gadis yang
pingsan, baru aku terpikir menghubungi security gedung. Tak lama, bertiga kami
masuk dari pintu depan. Bertiga pula kami memapah si gadis, menidurkannya
tubuhnya yang mulai mendingin dan menungguinya di ruang tengah. Selang tiga jam
setelahnya, tak lagi bisa memaksa dua orang security menunggu, aku memilih
bergadang. Kali ini aku menelpon dokter keluarga.
“Gadis
ini terlalu lelah Ga. Untung segera kamu selimuti. Tubuh lelahnya memang harus
tidur. Jika terbangun nanti, buatkan sop panas juga minuman manis. Telpon om
lagi jika besok ia masih merasa lemas.”
“Baik
om. Terima kasih mau datang jauh-jauh begini.”
“Tak
masalah. Sampaikan salam kepada mama papamu. Dua pekan ke depan aku mengundang
mereka berdua main golf bersama.”
“Siap
om, pasti aku sampaikan..”
Baru
saja letakkan beberapa kaleng sup instan di dapur, satu suara memaksaku
berpaling.
“Pasti
kamu yang membawaku ke kamar. Maaf, jadi merepotkan begini..”
Alih-alih
menjawab, aku justru mematung.
“Aku
memang terlalu memaksakan diri. Baru saja pindah, sudah asyik berburu foto
senja. Kebetulan juga aku baru saja turun dari Kerinci. Biasanya aku tak pernah
sampai pingsan begini..”
Ujung
mataku telah memastikan sepasang kakinya benar terbungkus sneakers merah
terang. Namun aku paham apa yang memaksaku mematung dan terpaku. Sepasang
matanya lebar, dengan hidung mancung serta bibir merah tipis yang sungguh
ideal. Kombinasi warna kulit yang putih, outfit serba merah dan manik mata
coklat terang. Imajinasiku meliar tiba-tiba.
“Aku
Karin. Nama kamu siapa? Tetangga sebelah kanan kan? Tadi aku melihatmu sedang
ngopi. Apa mau aku buatkan kopi lagi?”
Gadis
bernama Karin kini sudah disampingku. Sibuk meracik kopi dan memanaskan air.
“Tapi
koleksi kopiku hanya kopi hitam. Jadi, aku buatkan dengan gula dan caramel ya.
Sementara pakai air mendidih biasa dulu. Mesin kopiku belum terpasang. Lain
kali, kita akan mengopi bersama dengan cara sepantasnya kopi dinikmati.”
Sekian
menit berselang, Karin beranjak dari sampingku dengan dua mug kopi ditangannya.
“Sini
ke balkon lagi saja. Supnya kita masak nanti. Aku mau lihat hasil bidikanku
tadi..”
Sepi
yang menggantung memaksaku bereaksi. Seperti robot, tubuhku bergerak begitu
saja menuju balkon. Satu kursi kayu dengan meja kecil di depannya. Karin di
ujung kursi sedang sibuk melihat-lihat kamera, membuatku bisa ikut duduk dan
meraih mug kopiku.
“Kamu
belum sebutkan nama. Aku tak tahu harus memanggil apa..”
“Aku
Rangga. Iya. Aku tinggal di sebelah kananmu. Maaf..”
“Tak
apa-apa. Tetap saja harus aku yang berterima-kasih. Seumur-umur baru tadi aku
pingsan begitu. Besok pagi biar aku saja yang menelpon dokternya. Tadi ada
catatan resep dan kartu nama yang ditinggalkan.”
“Ok.
Terserah saja.”
“Ini
kartu nama personalku. Aku hanya gunakan IG. Sengaja aku gembok, karena memang
jejaring mayaku terbatas. Bagikan saja akunmu di line, nanti aku yang folbek.”
Perkenalan
searah. Selain nama dan janji ia akan bisa lebih aku kenali melalui dua kontak
yang dibagikannya, tak banyak yang bisa aku tanyakan lagi. Namun ketika ia tahu
aku hampir selalu iyakan setiap pernyataannya, entah itu pertanyaan, ajakan
atau pun pilihan, sepenuhnya aku mulai menjadi bayangannya.
--
Karin
tak terlalu terpengaruh dengan penerimaan tanpa batasku. Meski sudah miliki
sekian ribu fiksi berbagai genre, termasuk percintaan, tak sekali pun ia
membahas cinta saat bersamaku. Lima tahun di sampingnya, aku tak yakin apa
kemudian cinta yang memerangkapku. Apakah cinta, sublimitas atas penjara
sorotan coklat terang, hitungan terakhir senja dan manis dari pekatnya hitam
kopi tak bergula.
“Aku
telah membayar mahal guide dan tim porter kita kali ini. Aku memaksa mereka mau
berkemah di dasar kawah Tambora. Jika benar aku tak bisa dapatkan senja saat
sedang di dasar kawah, aku berjanji takkan masalah jika berburu senja di pos
pendakian lainnya..”
Gambaran
sederhana trip berburu senja kali ini. Tak ada bagian yang bisa dibantah. Tak
perlu ada waktu mengusahakannya.
“Nah.
Ini bagian terbaiknya. Kopi Tambora. Green bean akan kita dapatkan di
perjalanan turun nanti di dusun Pancasila. Sementara kita coba yang ini dulu.
Untukmu sudah aku bawakan caramel, gula palem dan susu murni. Akan aku buatkan
caramel macchiato favoritmu di hotel nanti.”
Percakapan
ringan di salah satu swalayan di kota Dompu. Masih dua jam dari pintu pendakian
sabana Doro nCanga menuju bibir kawah Tambora. Rombongan kami gunakan dua jeep.
Tujuan utama trip tak semata keberhasilan raih puncak. Yang utama adalah
perburuan senja. Senja milik Karin.
“Aku
sudah dapatkan email balasan dari penyelenggara festival kopi tahunan di
Tambora sini. Ada beberapa jenis bean yang harus aku dapatkan dan ia berjanji
akan temuiku di museum kopi. Tak ada senja yang bisa kuburu di bangunan tua
itu. Jadi kita akan puaskan diri nikmati berbagai racikan kopi Tambora..”
Yang
benar, aku lah yang harus rela habiskan sekian jenis racikan kopi. Karin hanya
akan sesap kopi hitam tak bergula. Di setiap momen mencoba rasa, takaran untuk
kopi hitam Karin paling minimal. Sisanya, akan dicobainya dengan minimal
masing-masing lima takaran berbeda untuk campuran gula, caramel, gula palem,
susu murni dan seterusnya. Aku akan selamat dari menghabiskan semua jenis rasa
yang dihasilkan jika nanti ditemani oleh semua tim pendakian dan rekan baru
yang akan ditemuinya.
“Rangga,
terima kasih. Seharusnya kamu menjadi partner tripku sejak lama,” tetiba Karin
sudah rapat ditubuhku.
Terkejut,
alih-alih balas merengkuhya, dua tanganku meraih pipi Karin.
“Aku
juga harus berterima-kasih. Design dan gambar-gambarku semakin kaya warna sejak
temanimu berburu senja, “ lekat-lekas sepasang coklat terang mata Karin
kutatapi.
Setiap
kata kuharapkan terpenjara selamanya bersama coklat terang.
“Jadi,
jangan lagi pernah tanyakan berapa senja yang masih harus kuburu, karena tak
ada senja terakhir bagiku..”
“Ya..Aku
pastikan tak lagi tanyakan itu..”
Sesaat,
dua tubuh kami menyatu hangat. Kali ini,
penjara coklat terang menggerakkan tubuhku. Bersama memerangkapkan diri.
Mungkin
tanpa harus pahami manis dibalik pekatnya kopi hitam tak bergula.
Yang
jelas, kini aku tak ubahnya Karin. Sesama pemburu senja.
bagus ceritanya, jangan lupa kunjungi blog gue juga ya
ReplyDeleteHalo Aviva, terima kasih kunjungannya yaaa.
ReplyDeleteSiap, otw...^_^
Menarik ceritanya, mbak. Kopi dan senja cocok deh dipadukan :)
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur suwun.
ReplyDeleteSiji neh tak tulis ning Kompasiana, kopi kalih penulis yg mantan druggers.
Suwun sanget kunbalnya...
Terbawa alur ceritanya sampai bayangin bikin kopi :D
ReplyDeleteAyo, mau bikin kopi apa? ^_^
ReplyDeleteTerima kasih kunjungannya yaaa.
Semoga sukses, Bunsal..!
ReplyDeletebagus... ^^ jadi pengen minum kopi malem-malem nih.. hihi
Kopi dan Senja. Aaaak! Dua hal favoritku tersaji di sini. Terima kasih sudah menuliskannya, Mbak. :)
ReplyDeleteOh iya, aku juga ikut event yang sama dadi nulisbukudotcom dan giordano ini lho, jika berkenan mampir ke blog-ku juga ya, Mbak hehehe
Mbak +ArinaMabruroh : matur tampi asih mbak..^_^
ReplyDeleteAamiin.
Sumonggo...kopi susu aja, biar ndak begadang.
Mbak +PertiwiYuliana : Alhamdulillah, sama-sama favorit kita baati.
Siap kunbal..^_^
aku juga suka memburu senja hehehe.. Bagus mbak ceritanya :)
ReplyDeleteAt kk +Marita_Ningtyas , alhamdulillah punya kesamaan hobi.
ReplyDeleteSuwun sanget. Juga utk kunbalnya. Salam hangaaattt..