Persis di jam ini, setahun yang lalu, saya masih uplek blek di dapur. Dapur agak terbuka, karena lokasinya di teras belakang bangunan inti rumah. Namun, masih dikelilingi tiga tembok dan atap dari kombinasi genteng serta asbes serta seng.
Saat memasak, rasa gentar (bahasa Sasak bagian Selong Lombok Timur, yaitu ‘leger’) setelah digoyang beberapa detik masih terasa. Cuma, nanggung. Masakan hari itu sudah mau selesai dan saya paling hobi menyantap masakan yang hangat. Baru saja matang, masih beruap panas. Nyatanya, getaran bumi terasa kembali. Tidak menimbulkan bunyi seperti si 6.4 SR di setengah tujuh pagi. Yang ini, tetap menyentak asbes dan seng. Langsung saya lari tunggang langgang. Untung masih teringat mematikan tombol gas di kompor.
Satu rumah yang lantak di Lombok Utara, pascagempa 7 SR di Minggu 5 Agustus 2018. Dokpri |
Jeda setengah jam, beringsut saya kembali ke dapur. Selera makan mulai lenyap. Tapi, masakan masih juga belum matang sempurna. Hiyyasalam, digoyang lagi dong. Akhirnya, terserah, masakan sematangnya dulu saja. Kabur sebentar mengambil kabel charger dan power bank, saya keukeuh sendirian di bawah pohon mangga. Keluarga yang lain di mana?
Kota Selong Mendadak Siaga Bencana
Sekira satu jam pascaguncangan pertama saat fajar, belum terbayang separah apa efek guncangan tersebut. Namun, dua jam berselang, rasa jerih dan kaget karena munculnya guncangan berulang bertambah dengan ramainya suara sirine ambulans.
Intip Ulasan Gempa di Blog Ini Yuk: Gempa Lombok Pertama: , Gempa 7SR Pertama Lombok, dan Gempa Lombok Ultah Setahun
Rumah almarhum bapak (dua tulisan tentang 2 Syawal atau 6 Juni saat bapak meninggal, masih mengendap di otak – antara khawatir nulisnya sambil mewek, atau memang belum berjodoh tertuliskan) berjarak hanya 20 an meter dari ruas jalan raya utama kota Selong – Jalan Prof M. Yamin. Ruas jalan ini merupakan jalur searah. Jadi, semua kendaraan yang berasal dari timur, pasti akan melintas di sini. Termasuk para ambulans, yang ternyata di kemudian hari, baru saya tahu mengangkut para korban gempa.
Halo Kevin. Semoga saat ini sedang sekolah dan sehat-sehat selalu ya. Kevin, salah seorang anak korban gempa Lombok, Minggu 29 Juli 2018. Dokpri |
Alih-alih tenang di rumah, saat itu ibu saya malah jadi heboh sendiri. Entah prihatin melihat update berita di TV, ibu bolak-balik minta diantar ke rumah sakit daerah. Kebetulan, rumah saya juga dekat RSUD dr. Soedjono, rumah sakit utama kabupaten Lombok Timur. Tak sampai 3 kilometer dan ruas jalan raya penghubungnya juga lurus rus, mengarah ke barat. Ibu minta diantar, karena semakin siang, suara sirine ambulans semakin sering wara wiri.
“Ayo, sebentar saja. Penasaran ini,” begitu kira-kira kalimat-kalimat permintaan ibu saya, jika diterjemahkan bebas.
Akhirnya, karena tetap tidak ada yang mengantar, ibu nekat naik angkot (sungguh keinginan yang kuat yak :D ). Nggak pake lama, tiba-tiba sudah kembali pula di rumah.
“Astagfirullah. Ternyata serraaammm. Ibu pikir nggak gimana-gimana. Baru turun, ada anak kecil digendong orang tuanya, badannya penuh bekas darah. Entah bocor atau luka di bagian mana,” demikian kira-kira, sebagian cerita yang berebutan keluar. Persis seperti presenter berita di TV.
Kan, sudah diperingatkan. Syukurnya, karena melihat langsung sendiri dan menceritakan ulang dengan heboh, anak-anak (cucu-cucu ibu) yang akhirnya ngumpul semua di rumah jadi berhenti penasaran. Saya? Sekitar jam 2 siang, karena mulai mengantuk dan listrik mulai nyala lagi (tadinya mati sejak gempa pertama pagi), akhirnya memberanikan diri masuk kamar. Di siang ini pula, berita gempa Lombok mulai meluas. Teman-teman WAG di lintas daerah mulai absen. Sampai akhirnya mendadak membuka keran donasi, namun dengan target utama, para korban (khusus ke anak-anak) gempa yang dirawat di RSUD Selong.
Banjir Donatur di Gempa Lombok Pertama
Di pekan pertama pascagempa 6.4 SR, tiga kecamatan di Lombok seolah banjir donasi. Dua kecamatan di Lombok Timur (Sembalun dan Sambelia), serta satu kecamatan di Lombok Utara (kecamatan Bayan).
Saya yang tadinya ingin fokus ke korban di RSUD, diminta beberapa donatur untuk mencari tahu langsung efek gempa di tiga kecamatan tersebut. Alhamdulillah, teman-teman seangkatan di SMAN 1 Selong juga sudah membentuk sendiri kelompok donasi. Jadi, di Selasa 31 Juli, saya ikut menumpang di satu mobil mereka (tampiasih lagi ya, Nana, Wiwik dan Wiwin), survey langsung beberapa spot.
Dadah-dadah ke Wiwik, Nana dan Wiwin. Sudahkah ngopi atau ngeteh di pagi ini? Dokpri |
Di hari tersebut, selang dua hari pascagempa, banyak pula rombongan donatur yang bergerak bersama kami. Meski sudah sering bolak-balik ke Sembalun yang juga desa wisata, tetap saja banyak titik-titik pengungsian yang tidak bisa kami datangi. Namun, di hari itu, pemetaan lokasi pemberian donasi selanjutnya sudah cukup jelas. Nomor-nomor HP untuk kontak donatur mulai disebar. Langsung pula diikuti sms serta info-info di WAG, terkait titik-titik lokasi yang samasekali belum tersentuh.
Sepekan ini, Senin 30 Juli, sampai Sabtu 4 Agustus, belum ada yang menjadikan post-post update Professor Didik Wijaya sebagai rujukan utama mereka (khususnya warga Lombok kebanyakan). Tak ada bayangan, bahwa masih di hari Minggu, 5 Agustus 2018, akan terjadi gempa lagi. Bahkan di skala lebih besar, dengan guncangan berulang yang menakutkan.
Pembelajaran Penting Gempa Pertama Lombok
Sedikit pembelajaran dari apa yang terjadi di pekan pertama, pascagempa Lombok di 29 Juli, bahwa:
1. Tas Siaga Bencana disiapkan sekarang. Sekarang ini bisa berarti, segera setelah kamu membaca post ini, atau kapan pun kamu mendengar berita bencana di daerah lain.
Apa saja isi Tas Siaga Bencana ini? Obat P3K standar, air minum kemasan terbesar (bukan galon juga sih ya. Cukup kemasan 2 liter atau beberapa botol kemasan 750 ml), surat-surat penting keluarga (akta lahir, kartu keluarga, ijazah-ijazah dan surat tanah atau berharga lainnya -- ini kalau kamu belum memanfaatkan layanan kotak deposit berbayar ya), makanan ringan dan makanan kaleng (dicek berkala untuk masa kadaluarsanya) serta sedikit selimut atau pakaian kering.
2. Jangan menunda lagi mengisi daya gadget kamu. Sedikit latar, sejak gempa Lombok ternyata berulang sampai sekian bulan, salah satu penanda bahaya adalah segera matinya listrik. Jadi, kebiasaan selalu mengisi daya gadget, akan sangat berguna.
3. Membuat time plan atau peta lokasi donasi. Ini salah satu yang tidak langsung dilakukan di pekan pertama Agustus. Terutama, oleh jenis donasi yang dikelola donatur personal seperti saya. Jadi, semoga ke depan, donatur-donatur personal bisa lebih terdata. Baik dari pengelolaan dana donasi, target donasi serta sinergi dengan lintas donatur. Tahun ini kan sudah banyak belajar teknologi digital, nah, bisa dimanfaatkan kan untuk problem solver kondisi ini.
4. Proses follow-up donasi. Bagian ini juga cukup lemah, terutama untuk donatur personal seperti saya. Sampai tulisan ini saya muat, terakhir berkunjung ke lokasi-lokasi donasi, rata-rata sudah di tahun lalu. Jadi, ada baiknya sebagian dana donasi disisihkan, jadi proses follow-up ini bisa dilakukan. Bisa juga dengan bersinergi ke donatur lain yang lebih besar, mencari tahu kondisi terkini para korban yang pernah diberikan bantuan.
Yuk, stay safe and alert. Tangguh bencana untuk semua warga Lombok dan Indonesia. Aamiin. Dokpri |
Baiklah, karena didasarkan pada pengalaman pribadi, empat catatan khusus di atas rasanya cukup. Ada yang berkenan melengkapi? Boleh di komen post ini, atau di kolom komentar 'sharing' post ini di akun-akun sosial media saya. Empat catatan di atas, bisa jadi juga terlewatkan, karena sifat donasi yang lebih ke 'tanggap bencana'. Jadi, lebih menyasar ke kebutuhan utama survival atau bertahan hidup. Namun, tentu juga tetap sama baiknya, jika bantuan atau donasi tersebut di kelola dengan lebih baik lagi.
Salam hangat dan rasa terima kasih sebesar-besarnya untuk para donatur yang mempercayakan donasinya melalui saya.
Semoga tidak ada gempa lagi dan lombok selalu aman ya mbak. Amin amin ��
ReplyDelete