Sekian hari menulis kisah-kisah seputar Ramadhan, terutama di Lombok, yang benar-benar baru bagi saya terjadi di tahun ini. Tepatnya, sejak menetap di salah satu desa, dekat dari kawasan wisata terkenal Lombok yaitu Senggigi. Iyap, sejak bekerja kembali, saya tinggal sementara di desa Sesela, Lombok Barat.
Nah, salah satu yang terbaru, adzan di sekitar pukul dua atau tiga, dinihari. Bertanya ke sana ke mari, saya baru peroleh satu jawaban. Adzan ini untuk membangunkan atau menyeru para muslim agar melakukan sholat malam. Saat puasa, sepemahaman saya, dua sholat malam yang umumnya dilakukan sebelum sahur, sholat sunnah Tahajjud dan sholat Witir. Kembali berlatar ilmu agama saya yang tidak seberapa, saya tidak akan melanjutkan ulasan, mengapa hanya Tahajjud dan Witir saja yang disebut sebagai sholat malam ini. Wallahu'alam.
Berikutnya, saya jadi teringat lagi ke satu momen lama. Di salah satu desa di Ungaran, Jawa Tengah, adzan juga dilakukan di luar jadwal sholat fardu (wajib, lima kali sehari). Berbeda dengan informasi awal tentang adzan di desa Sesela, Lombok, yang di Ungaran digunakan untuk menyeru para jemaah (waktu itu, yang ikut pengajian, terbesar adalah anak-anak) pengajian. Yang membuat saya bertanya-tanya dan kebingungan, adzan di Ungaran ini dikumandangkan sekitar pukul lima sore.
Dua hal baru, yang meyakinkan saya, bahwa di banyak tempat banyak cara unik umat muslim. Entah untuk menyeru agar segera berangkat pengajian, atau agar segera terbangun sholat malam. Demikian juga untuk membangunkan sahur.
Di sebagian tulisan Cerita Ramadhan saya, sudah saya kisahkan serba serba para pasukan pembangun sahur.
Di Lombok, umumnya membangunkan sahur dilakukan melalui pengeras suara di masjid-masjid atau musholla. Di samping itu, irama -- entah, tepatnya harus dijuluki jenis musik apa, berbagai macam pukulan dari para pasukan pembangun sahur.
Yang mungkin menarik, jika pasukan pembangun sahur dari para Sekehe Gendang Beleq. Istilah khas Lombok untuk kelompok seni musik tradisional Lombok, yaitu Gendang Beleq (Beleq: Besar, Bahasa Sasak, Lombok). Gendang Beleq-nya tak perlu banyak. Cukup dua, dan boleh diarak di atas motor roda tiga semacam Tossa serta yang sejenisnya. Berat juga kalau Gendang Beleq diarak sendirian mengelilingi kompleks pemukiman.
Pilihan menarik berikutnya, kesenian Tongkek. Kesenian pukul dengan alat musik dari bambu. Serupa angklung, tetapi kini di Lombok sering dipertunjukkan bersamaan dengan Gendang Beleq.
Wah, kalau dua jenis kesenian ini yang digunakan para pasukan pembangun sahur, yang ada saya sendiri malah jadi ikutan menonton. Kalau perlu, membuat vlog khusus, sekalian Sahur on the Road. Duh, sepertinya bakal seru pake banget ya.
Kamu, kisah seru di daerahmu tentang kebiasaan membangunkan sahur, seperti apa? Jangan lupa ditulis dan bagikan link-nya segera ya. Boleh banget dititip di kolom komentar tulisan saya ini.
Ditunggu .
Post a Comment
Post a Comment