Tahun 2020 hampir melewati kuartal ketiga. Sayangnya, kita masih belum benar-benar terlepas dari banyak hal terkait pandemi Corona. Kita belum bisa benar-benar menggunakan frase ‘After Covid-19’, karena sejatinya memang banyak wilayah di dunia sekali pun, selalu muncul berita terkait virus strain flu terbaru ini.
Saya pribadi, terhitung hampir tiga bulan sudah berkumpul bersama keluarga besar PAMSI (Pesantren Alam Sayang Ibu, nama baru dari MSI-Madrasah Alam Sayang Ibu). Dewan Guru dan Staf, masuk sejak awal Juni lalu, untuk mempersiapkan banyak hal. Baik itu kelanjutan dari proses pendaftaran para santri baru, sekaligus kurikulum pembelajaran yang siap dilaksanakan. Baik dengan metode daring – media daring (online, alias belajar dari rumah), atau pun luring – luar jaringan, offline alias langsung bertatap muka di lingkungan pesantren.
Namun, pilihan daring mau pun luring, tentu telah dengan pertimbangan tersendiri. Pesantren-pesantren yang memutuskan luring, dengan pertimbangan bahwa, interaksi di lingkungan terbatas terhitung mampu meredam penularan virus.
Kalau pun misalnya masih ada interaksi dengan pihak luar, para santri dan dewan pengajar yang menetap di lingkungan pesantren, telah semakin terbiasa menerapakan standar kesehatan yang ketat.
Titik-titik wastafe pencucian tangan tersedia di banyak sudut. Pengenaan masker selalu diingatkan di setiap kesempatan. Isolasi-isolasi jika ada yang memiliki sebagian dari gejala flu, dilaksanakan, lebih seperti rutinitas harian lainnya.
Di satu sisi, dua anak saya yang bersekolah di sekolah umum, masih melakukan daring. Kecuali si sulung. Saat tes kenaikan kelas lalu, pilihan luringnya ternyata sebatas, mengambil berkas tes atau soal-soal di sekolah, untuk kemudian dikerjakan di rumah. Tawaran cukup bijak, karena di masa tersebut, kekhawatiran para orang tua masih cukup tebal.
Aktifitas luar rumah, walau pun sekadar bertemu sebentar dengan teman-teman sekelasnya, bagi saya terasa sangat mengkhawatirkan.
Lalu, apa masih berharap kepastian waktu, kapan kiranya pandemi ini benar-benar berakhir?
Bagi saya, cenderung memilih bersikap pragmatis saja. Saya ingin tetap sehat. Harapan sama yang saya sematkan di setiap doa, bagi keluarga terdekat saya, lingkungan bekerja terdekat saya. Kemudian, di skala lebih luas, siapa saja yang berinteraksi dengan segala rutinitas saya.
Seorang ibu pekerja dengan lokasi pekerjaan di kawasan Lombok Barat. Sekali waktu, akan pulang ke rumah, di kota Selong, kabupaten Lombok Timur. Di lain hari, sesekali, melintas pula di banyak wilayah lainnya.
Sungguh. Saya tak mau menjadi OTG. Satu julukan bagi seseorang yang diduga membawa si Covid-19 di tubuhnya, namun samasekali tidak menunjukkan satu pun gejala terkait diagnosa Corona. Untuk ini, tak pernah jadi masalah, langsung hempaskan outfit harian ke keranjang cucian. Tak jadi masalah pula, selalu kenakan masker, dimanapun serta kapan pun. Sama kecilnya dengan rajin mencuci tangan dengan sabun, serta menolak berjabat tangan. Demi tindakan pencegahan.
Bagaimanapun, sebanyak kisah positif yang saya baca -- sehubungan dengan proses isolasi para pasien positif Covid-19, saya enggan untuk menjadi salah satunya. Sesuatu yang saya yakini, juga disepakati Anda. Semoga, aamiin.
Post a Comment
Post a Comment