Judul tulisan di atas terngiang di otak saya, selama satu minggu terakhir. Yang membuat eksekusi agak lama, enaknya saya pasang di blog yang mana yak? Alhamdulillah, hari ini sudah ada keputusan. Tulisan ini berjodoh di blog personal. Yay..
Sharing Membangun Literasi Pada Anak Usia Dini. Dokpri |
Jika awal tahun ini banyak mitra atau brand yang masih memberikan apresiasi di angka ratusan ribu untuk konten video selama minimal satu menit, di bulan ini ada beberapa rekan blogger yang men-cuitkan, apresiasi barter produk senilai kurang dari 100 ribu rupiah. Tanpa uang sama sekali. Makin nyesek, konten video melibatkan subjek orang. Dimana, untuk konten kreator yang berkeluarga, usaha membuat konten lebih kompleks dibandingkan review produk saja.
Pertimbangan personal lainnya, sejak seorang teman saya yang membantu meng-editkan video Hp di harga teman menyebutkan angka satu juta rupiah, saya akan segera menolak jika penawaran apresiasi di bawah 100 ribu rupiah. Walau seringkali tidak dihargai di angka ‘teman’ yang sama, setidaknya tidak jeblok juga. Apalagi kalau sampai barter produk seharga kurang dari 50 ribu rupiah.
Kecuali mitra dari UMKM, saya lebih sering menutup mata dengan angka rate-card. Baik dengan barter produk atau pun tidak, saya lebih sering langsung menerima.
Begitulah. Tantangan menjadi seorang konten kreator. Semakin bisa banyak orang mengerjakan konten yang mirip, semakin terancam nilai apresiasi yang diberikan. Lalu, bagaimana pula dengan literasi? Khususnya literasi pada anak?
Skuy, Mulai Tularkan Keajaiban Membaca (kan) Buku Pada Anak
Serasa menyempurnakan ujian ketahanan tetap menulis (update blog), saat membaca sekilas di sosmed – data yang dirilis UNESCO, presentasi literasi membaca masyarakat Indonesia hanya 0.001%. Artinya, hanya ada satu orang yang membaca, di antara 1000 orang. Hiks..
Tanggapan rekan blogger di jaringan pertemanan online saya beragam. Demikian juga pegiat literasi di jaringan pertemanan offline. Satu yang menarik saya kutipkan ke tulisan ini.
Adalah Lalu Abdul Fatah, seorang penulis, menyikapi angka tersebut dengan pandangan berbeda. Menurutnya, bisa saja angka tersebut muncul, justru bukan karena rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Bisa jadi, justru disebabkan karena minimnya ketersebaran buku bacaan, apalagi ke daerah-daerah di pelosok. Pandangannya ini disampaikannya di salah satu status sosial medianya.
Foto bersama Linda Andayani, Ibu Kepala Sekolah dan Para Guru. Dokpri |
Lain Fatah, lain pula Linda Andayani. Linda seorang ibu tiga anak. Belakangan, di samping hobi membaca yang kemudian ia merasa harus juga mulai aktif menulis, ia menegaskan tuntunan keluarga terdekat untuk kebiasaan membaca ini. Ia memilih untuk lentur di tugas rutin keseharian, namun ketat, disiplin dan lebih meluangkan banyak waktu, demi bisa menemani tiga putra putrinya membaca.
Kebiasaan rutin harian, yang akhirnya menjadi bekalnya mulai menerima tawaran sebagai narsum, di tema yang berkaitan dengan Keajaiban Membaca (kan) Buku atau Read Aloud bagi anak-anak.
Keajaiban Read Aloud Bagi Literasi Anak Usia Dini
Kembali ke Linda, ia mengajak saya di satu aktivitas literasi anak usia dini di salah satu sekolah di Lenek, Lombok Timur. Saya memilih sharing, sementara Linda menyiapkan khusus satu modul Keajaiban Read Aloud. Para wali murid sekolah usia dini yang hadir, antusias saling bertanya, juga berbagi pengalaman interaksi mereka saat melakukan 'Membaca Nyaring Pada Anak-Anak'.
Linda juga langsung praktik Read Aloud bersama dua anak yang turut hadir. Dokpri |
Beberapa yang saya rangkum dari momen diskusi dan sharing, di antaranya:
Pertama, orang tua bisa mengenalkan buku dengan membiasakan melihat buku fisik di keseharian mereka, Ibu Kepala sekolah misalnya. Beliau memilih membelikan buku-buku bacaan anak-anak sebagai oleh-oleh, dibandingkan mainan atau makanan. Beberapa wali murid, juga mulai rutin meminjam koleksi buku bacaan anak-anak di sekolah, untuk dibaca bersama saat di rumah.
Kedua, luangkan waktu khusus untuk aktivitas 'Membaca Nyaring' atau Read Aloud. Beberapa ibu menceritakan, bagaimana anak-anak mereka justru menjadi tenang saat dibacakan buku. Bahkan, ada anak yang kemudian menjadi pencerita yang cerewet. Bekal dari isi bacaan yang dibacakan ibu dan gurunya.
Ketiga, konsisten membawa buku fisik di aktivitas luar rumah. Nah, yang ini, satu contoh sederhana yang selalu saya ceritakan di momen literasi mana pun. Buku fisik ditambah buku catatan kecil (note atau jurnal favorit), terbukti masih ampuh menjaga kecintaan kita pada dunia literasi.
Jadi, tentu kita (utamanya saya) akhirnya bisa menuliskan 'Bertahan Satu Cinta Pada Literasi', meski data-data ini itu menunjukkan sebaliknya. Mari sama berjuang, semoga di rilis data UNESCO selanjutnya, angka 0.001% beranjak naik. Setidaknya menggenap pada satu digit angka, bukan lagi memunculkan angka desimal. Bismillah, aamiin.
Mengenalkan anak dengan kebiasaan sehari-hari ya mbak
ReplyDeleteTermasuk dengan kegiatan membaca buku
Dulu waktu aku kenal read aloud ini aku coba praktekan ke keponakan,
Namun hanya bertahan beberapa kali aja, soalnya jarang ketemu juga
soon dipraktekkan ke anak sendiri
Salah satu tahap dalam pra membaca adalah anak-anak memahami bacaan, ya salah satunya adalah orang tua membacakan buku cerita. Kadang ya, (baca: aku) suka membelikan buku cerita untuk anak-anak, tapi aku sendiri enggan membacakan buku cerita ke mereka kan jadinya lucu. Gimana anak bisa suka literasi, jika orang tuanya tidak mencontohkan.
ReplyDeleteMasyaAllah, dampak baik dari kebiasaan membaca nyaring bersama anak kini mulai menggeliat ya. Kapan hari saya ikut dalam salah satu kegiatan yang digagas oleh komunitas membaca yang saya ikuti, Kak. Di sana pun sempat ada sepotong obrolan yang membahas read aloud dari sisi penulis buku maupun penerbit. Betapa kebiasaan ini memang bisa menumbuhkan minat baca bagi generasi selanjutnya sih.
ReplyDeleteBener kata Fatah. Bisa jadi angka membaca org Indonesia rendah karena minim buku2 bacaan di perous sekolaj
ReplyDeleteHaiyah maaf tadi typo.
ReplyDeleteBener kata Fatah. Bisa jadi angka membaca org Indonesia relatif rendah karena emang ga ada buku yang dibaca. Atau buku yg ada di perpustakaan sekolah udah lapuk atau jadul banget.
Daku blm pernah belajar read aloud nih kak. Tapi udah praktek sejak anakku masih balita. Hasilnya dia sekarang suka baca majalah anak2 dan ebook.
Rasanya berat dan sesak sekali mengetahui rate card yang terjun bebas.
ReplyDeleteAku juga gak bisa komentar apa-apa karena merasakannya juga..
Semoga semua bisa sesuai dengan beban kerja dan fee yang diperoleh.
Dari buku Read Aloud memang bermanfaat sekali. Gak hanya ketika anak masih cimit-cimit batita, tapi ketika sang anak sudah bertumbuh, read aloud tetap efektif untuk anak agar gemar membaca.
AKu appreciate Bunsal!
ReplyDeleteSekarang bahkan di beberapa tobuk ada buku-buku cerita anak bergambar besaaaar besaaar. Aku pengen juga ikutan sesekali membacakan, tapi kok ... masih malu ya hahhaa (padahal yang dihadapin anak anak loh!)
"literasi membaca masyarakat Indonesia hanya 0.001%. Artinya, hanya ada satu orang yang membaca, di antara 1000 orang. Hiks. ..." sungguh mrmpihatinkan.
ReplyDelete